Saat itu saya masih ABG, tanpa dukungan orangtua, masih ditambah introvert, pemalu – cenderung penakut, dan tidak punya uang sepeserpun.
Bingung tidak tahu harus bagaimana, setiap siang sehabis makan, saya main ke kios kelontong milik tetangga kampung. Senang saja melihat kios itu selalu ramai pembeli. Saya pengin punya kios seperti itu.
Bermula dari sekedar bengong, kemudian iseng membantu memasukkan belanjaan ke dalam kantong kertas, beberapa bulan kemudian saya diijinkan membantu menakar beras dan gula. Saya juga diperkenankan titip menjual layangan.
Dari mana modal untuk membuat layangan? Kebetulan ada tetangga membuang lincak (kursi bambu), dan kebetulan pula ayah bersih-bersih lemari. Banyak kertas doorslag bekas yang dibuang. Benang dan lem tapioka minta ibu.
Layangan laris, dutinya saya belikan yoyo dan kelereng. Maka dagangan sayapun bertambah.
Tahun 1980 saya masuk kuliah, jurusan teknik sipil. Jauh panggang dari api. Pengin punya kios tapi belajar teknik. Ternyata ada berkah di sana. Saya kuliah di Universitas Atma Jaya. Sebagian besar teman saya keturunan cina. Diantara sekian banyak yang berkecukupan, ada beberapa yang harus mengais rejeki sendiri untuk biaya kuliah. Maka, sayapun mulai punya partner bisnis.
Hanya begitu saja awal mulanya. Tanpa duit, tanpa skill, tanpa bekal apa-apa. Semua modal saya temukan sambil jalan.
Sumber : thefunpreneur
IKLAN SPONSOR DARI GOOGLE :
Posting Komentar